NKRI dan Islam
Sebagaimana dinyatakan Gus Dur dalam artikelnya, NKRI
memang bukan negara Islam. Akan tetapi tidak berarti bahwa hukum Islam tidak
ditegakkan di situ. Buktinya masyarakat muslim bisa dengan bebas menjalankan
ajaran Islam tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus Dur, “mendirikan negara
Islam tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang
pada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib.”
Dengan kata lain, dalam kerangka
sistem republik, kaum muslim tetap mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan
syari’ah. Namun, penerapannya berlangsung secara sukarela dan atas kesadaran
sendiri, bukan melalui paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan dengan prinsip
republik yang anti terhadap dominasi dalam berbagai bentuknya.
Tuduhan bahwa NKRI identik dengan kekafiran
mencerminkan kegagalan memahami hakekat tatanan republik, yakni sebagai negara
perjanjian atau kesepakatan antar pelbagai elemen bangsa demi melawan dominasi
dalam berbagai bentuknya.
Pada titik ini, ada baiknya
saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah tentang NKRI pada Juni lalu di
Bandung. Menurut Muhammadiyah, Indonesia yang berdasar Pancasila merupakan
negara perjanjian atau kesepakatan (Darul ‘Ahdi), negara kesaksian atau
pembuktian (Darus Syahadah), dan negara yang aman dan damai (Darussalam). Keputusan Tanwir tersebut
diperkuat dengan pernyataan Din Syamsuddin bahwa komitmen terhadap Pancasila
adalah manifestasi komitmen untuk menepati janji, sesuatu yang diperintahkan
dalam Islam.
Pendapat ketua PP
Muhammadiyah ini layak untuk dicatat karena sejumlah ayat dalam Al-Qur’an
memang memerintahkan kaum muslim untuk mematuhi kontrak (‘ahd, mitsaq, atau
‘aqd) yang telah mereka sepakati. Simaklah misalnya QS: 2:177, 16:91, dan
17:34. Ketentuan ini tentu saja bukan hanya berlaku pada wilayah ekonomi
semata, melainkan juga politik.
Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam
yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir yang tidak memerangi umat
Islam (non-harbi) sesungguhya terikat kontrak dengan negara tersebut. Dan patut
diingat, kontrak dengan pihak non muslim punya kekuatan mengikat juga. Dengan
begitu, jika ia melanggar konstitusi negara tersebut, apalagi berupaya
menggantinya dengan yang lain, maka ia sesunggunya menjadi pengkhianat kontrak.
Ibnu Qudamah, ulama dari
mazhab Hanbali, menulis dalam Al Mughni: “Muslim yang tinggal di negara kaum
kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut,
karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak
bahwa si muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap
kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “Al
muslimun ‘inda syuruthihim“: kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah
mereka sepakati.”
Senada dengan pendapat Ibnu
Qudamah, Imam Al-Sarakhsi, ulama penganut mazhab Hanafi, menyatakan dalam Kitab
Al Mabsuth: “Sunnguh tercela bagi seorang muslim yang memohon keamanan dari
(negara kafir) berdasarkan perjanjian, tapi lalu mengkhianatinya. Rasul
berkata: “Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti
anusnya akan ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya akan ketahuan
secara terbuka.” Hadits di atas kiranya cukup untuk menegaskan bahwa orang
Islam yang menjadi warga negara Indonesia wajib mematuhi kesepakatan mereka
terhadap republik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar