IKLAN
DALAM SEGI ETIKA DAN ESTETIKA
Abstrak
Persaingan dalam dunia bisnis kian ketat,
berbagai perusahaan berlomba-lomba berkreasi se-kreatif mungkin untuk membuat
program marketingnya termasuk pengolahan ide iklan. Lihat saja di televisi,
berbagai iklan diputar di sela-sela tayangan program televisi tersebut. Bila
iklan tidak dibuat semenarik mungkin, maka orang akan lebih memilih untuk
mengganti channel televisi daripada melihat iklannya. Iklan memang menjadi
salah satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik konsumen
sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan promosi
dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik yang berupa visual
atau oral, iklan jenis punya tendensi untuk mempengaruhi khalayak umum untuk
mencapai target keuntungan. Tulisan ini mencoba memaparkan etika dalam iklan.
Apa saja kerugian yang ditanggung oleh produsen dengan iklan dan apa
pengaruhnya dalam dunia ekonomi, politik, bidaya, moral, dan agama. Untuk
itulah perlu ada prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam dunia periklanan
agar segi negatif dari iklan itu bisa dikurangi.
Pengantar
Bila
iklan tidak dibuat semenarik mungkin, maka orang akan lebih memilih untuk
mengganti channel televisi daripada melihat iklannya. Sama juga dengan iklan di
media pajang seperti billboard. Laju kendaraan dan padatnya lalu lintas membuat
orang sulit untuk fokus pada suatu iklan tertentu. Berdasar dari insight
itulah, berbagai pembuat iklan selalu berusaha membuat iklan yang unik, berbeda
dan menarik.
Hampir setiap hari kita dibanjiri oleh iklan yang
disajikan media-media massa, baik cetak maupun elektronik. Akibatnya
seakan-akan upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari untuk sebagian besarnya
dikondisikan oleh iklan. Memang, inilah sebenarnya peran yang diemban oleh
iklan, yakni sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang menginformasikan konsumen
perihal produk-produk barang dan jasa yang bisa dijadikan sebagai pemuas
kebutuhan. Dalam peran seperti inilah, di mana pun juga, kita bisa dengan mudah
menemukan iklan-iklan mulai dari yang paling sekuler sampai kepada informasi
mengenai aktivitas-aktivitas keagamaan, perjalanan ziarah, dan sebagainya.
Tanpa kita sadari, iklan ternyata sungguh-sungguh
ditampilkan sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi sebagian
besar hidup kita, terutama sehubungan dengan upaya mendapatkan barang dan jasa
pemuas kebutuhan. Apalagi iklan-iklan tersebut disiarkan lewat media radio atau
ditayangkan lewat layar televisi. Keadaan semacam ini yang membuat kita tidak
hanya tidak sadar bahwa iklan sedang “menjajah” kita, tetapi juga tidak peka
terhadap kenyataan bahwa iklan sedang menggerogoti nilai-nilai moral dan agama
yang selama ini kita junjung tinggi. Untuk hal yang terakhir ini kita
paling-paling hanya bisa sampai pada tingkat sopan-santun, dan bukannya sebuah
kesadaran etis untuk memprotes ikln-ikln yang tidak bermoral tersebut.
Dalam konteks pemikiran seperti inilah kita perlu
suatu pemikiran yang bisa menyadarkan kita akan pentingnya memiliki kesadaran
moral di hadapan propaganda-propaganda iklan. Pemikiran tersebut yangcoba kami
sajikan dalam karangan ini. Berturut-turut akan diuraikan (1) pengertian apa
itu iklan, (2) keuntungan-keuntungan serta bahaya-bahaya iklan, (3) beberapa
prinsip moral yang harus diperhatikan, dan (4) sebuah penutup reflektif.
Mendefinisikan
Etika? Ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (KBBI).
Unik dan
menarik-nya sebuah iklan bisa menimbulkan kontroversi apabila tidak mengacu
pada kaidah etika. Selayaknya pembuatan konsep kreatif sebuah iklan mengacu
pada ciri iklan yang baik yaitu:
· Etis: berkaitan dengan kepantasan.
· Estetis: berkaitan dengan kelayakan
(target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan?).
· Artistik: bernilai seni sehingga
mengundang daya tarik khalayak.
· Jujur : tidak memuat konten yang tidak
sesuai dengan kondisi produk yang diiklankan
· Tidak memicu konflik SARA
· Tidak mengandung pornografi
· Tidak bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku.
· Tidak melanggar etika bisnis, ex:
saling menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.
· Tidak plagiat
Sejarah
Etika Periklanan Di Indonesia
Aturan,
tata cara dan etika dalam beriklan sempat menjadi perbincangan di masa
periklanan modern Indonesia pada tahun 1978 yaitu inisiatif untuk melahirkan
Tata Krama Periklanan Indonesia. Contohnya saat itu pemerintah Indonesia
mendukung dibentuknya Dewan Periklanan Nasional yang beranggotakan PPPI
(Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), SPS (Seikat Penerbit Surat kabar),
TVRI & RRI, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia, GPBSI
(Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) dan YLKI (yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia). Sayangnya dewan itu hanya berusia satu tahun sebelum pada
akhirnya dibubarkan. Tata Krama Periklanan Indonesia yang dicita-citakan akan
lahir dari Dewan Periklanan Nasional tidak sempat menjadi kenyataan. Beberapa
pendapat mengatakan beberapa hal bahwa terutama ini karena tekanan dari
pengelola media cetak yang menginginkan agar kode etik periklanan mengacu pada
Kode Etik Penerbitan Pers yang sudahh dimiliki dan diberlakukan oleh SPS bagi
par anggotanya.
Pada
pertengahan tahun 1980, Aspindo (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan
Indonesia) memprakarsai sebuah Simposium Periklanan Nasional bersama PPPI, SPS
dan PRSSNI. Semua draft dan butir-butir pikiran Tata Krama Periklanan Indonesia
yang pernah dirumuskan di masing-masing organisasi “dipertemukan” dalam
simposium ini dan dibahas secara bersama.
Menjelang
akhir tahun 1980, sebagai kelanjutan dalam Simposium Periklanan Nasional,
diselenggarakan Konvensi Masyarakat Periklanan Indonesia untuk mencoba
merumuskan sebuah rancangan Tata Krama Periklanan Indonesia yang dapat
disepakati bersama. Setelah melalui persidangan sebanyak 68 kali dalam waktu
delapan bulan, akhirnya lahirlah Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.
(TKTCPI).
Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami
sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral
disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi
mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan
tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea,
institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut.
Sebagai kekuatan utama ekonomi, iklan justru
menjadi sarana yang efektif bagi produsen untuk menstabilkan atau terus
meningkatkan penawaran barang dan jasa. Sementara konsumen dengan sendirinya
juga membutuhkan iklan, terutama ketika mereka hidup dalam sebuah masyarakat
yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, sebuah masyarakat
konsumtif dengan tingkat permintaan akan barang dan jasa yang yerus meningkat.
Di sini sebenarnya iklan melakonkan tiga peran
sekaligus. Pertama, iklan informatif. Jenis iklan ini bertujuan untuk
menginformasikan secara objektif kepada konsumen kualitas dari barang tertentu
yang diproduksi, nilai-lebih dari barang tersebut, fungsi-fungsinya, harga
serta tingkat kelangkaannya. Kedua, iklan persuasif atau sugestif.
Jenis iklan ini tidak sekadar menginformasikan secara objektif barang dan jasa
yang tersedia, tetapi menciptakan kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa yang
diiklankan. Kalau pada iklan informatif yang mau dicapai adalah bagaimana
masyarakat bisa memenuni kebutuhannya, maka pada iklan persuasif justru
kebutuhan akan barang dan jasa itu sendiri yang hendak diciptakan. Dan demi
tujuan-tujuannya tidak jarang jenis iklan ini mengutamakan unsure-unsur
perasaan dan bersifat irasional, karena pesan-pesannya sunguh-sungguh
menggerakkan perasaan-perasaan, imajinasi-imajinasi, serta realitas bawah-sadar
manusia. Dan ketiga, iklan kompetitif. Meskipun meliputi juga iklan
informatif dan persuasif, jenis iklan ini lebih dimaksud untuk mempertahankan
serta memproteksi secara kompetitif kedudukan produsen di hadapan pelaku
produksi lainnya. Masyarakat kemudian diharapkan memiliki semacam tingkat
“kesetiaan” yang relatif tinggi dan tetap selaku pemakai barang dan jasa yang
dihasilkan oleh satu pelaku produksi tertentu saja.
Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan
kehilangan nilai-nilai informatifnya, dan menjadi semata-mata bersifat propaganda
barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan
jasa maupun penyedia jasa iklan. Padahal, sebagaimana juga digarisbawahi oleh
Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung
pada setuap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas
diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau
menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan. Hal terakhir ini yang
justru menegaskan sekali lagi tesis bahwa iklan bisa menghasilkan
keuntungan-keuntungan bagi masyarkat.
Keuntungan dan Kerugian Iklan
Mengikuti dokumen yang dikeluarkan oleh komisi
kepausan bidang komunikasi sosial mengenai etika dalam iklan, paling
kurang ada empat keuntungan dan ketugian yang bisa diperoleh dari iklan,
yakni keuntungan dan kerugian di dalam bidang ekonomi, politik,kultural dan
agama, serta moral. Keempat hal tersebut akan dideskripsikan berikut.
Bidang ekonomi
Dalam kerangka tindakan ekonomi secara luas,
iklan merupakan sebuah jaringan kerja yang amat kompleks karena melibatkan
produsen (pemasang iklan), pembuat iklan (advertiser), agen-agen, media iklan,
para peneliti pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri. Maka
keuntungan-keuntungan maupun kerugian-kerugian di bidang ekonomi juga
berpengaruh secara langsung terhadap para pelaku ekonomi itu.
Iklan ternyata memampukan perusahaan-perusahaan
untuk bisa menjual lebih banyak dan efektif produk-produknya. Keuntungan
maksimal lalu menjadi semacam finalitas yang mau direalisir. Sementara bagi
masyarakat konsumen, iklan bisa menyediakan informasi mengenai bagaimana dan di
mana kebutuhan-kebutuhan akan badang dan jasa bisa terpenuhi secara lebih mudah
dan efisien. Selain itu, iklan juga bisa mendidik masyarakat konsumen untuk
semakin meningkatkan standar hidupnya. Hal ini ternyata turut menentukan kontinuitas
proses produksi, karena semakin tinggi standar kehidupan masyarakat akan
semakin tinggi pula tingkat permintaan (demand) akan barang dan jasa.
Ini dengan sendirinya meningkatkan produktivitas perusahaan-perusahaan.
Seringkali terjadi juga bahwa meningkatnya produktivitas juga menguntungkan
para buruh. Semangat kerja masyarakat pun terus meningkat.
Iklan juga memberikan sumbangan yang besar bagi
media massa. Dengan pemuatan iklan-iklan maka biaya produksi, pajak, ataupun
masalah-masalah keuangan lainnya yang harus ditanggung menjadi relatif lebih
ringan. Dengan demikian, iklan sungguh-sungguh mengkomersialisasikan media
massa. Juga disinyalir bahwa bahaya control dari pihak luar terhadap media
massa karena faktor financial ternyata bisa dihindari. “Dukungan financial yang
diberikan iklan, “ demikian Garret, “ternyata telah membebaskan media-media
masa dari penguasaan oleh kepentingan politik tertentu.”
Semuanya ini menjadi sungguh-sungguh “sehat”
secara moral kalau mengefek pada semakin membaiknya kehidupan umat manusia.
Dalam arti itu seharusnya dihindari iklan-iklan yang menguntungkan secara
ekonomi segelintir orang saja. Mengenai hal ini dokumen yng dikeluarkan Dewan
Kepausan bidang Komunikasi Sosial menulis:
“Iklan menginformasikan masyarakat tentang
barang-barang serta jasa-jasa yang baru saja dihasilkan produsen, tingkat
kelangkaannya, dan bagaimana, secara rasional, mendapatkannya. Iklan memberikn
informasi tentang keputusan-keputusan konsumen, menciptakan efisiensi dalam
tindakan ekonomi, dan mempermurah harga. Iklan merangsang terjadinya
pertumbuhan ekonomi lewat perluasan bisnis dan perdagangan. Semuanya ini bisa
menyumbang kepada semakin membaiknya kehidupn. Ikln membantu pembiayaan
penerbitan-penerbitan, program-program serta produksi-produksi di bidang
informasi. Iklan jug bisa menghibur dan membangkitkan aspirasi.”
Meskipun demikian, lebih sering terjadi bahwa
iklan ditampilkan bukan sebagai media informasi mengenai kelangkaan barang dan
jasa pemuas kebutuhan, tetapi sebagai media persuasi yang “mendikte” konsumen
supaya membeli barang dan jasa tertentu. Tentang hal ini Walter Seiler memberi
contoh bahwa kaum wanita di Amerika Serikat bisa membelanjakan 10–50 dollar
untuk membeli sepotong sabun pemutih kulit, atau kosmetik tertentu supaya bisa
menjadi lebih cantik. Seiler kemudian menambahkan bahwa kaum wanita itu
sebenarnya membeli janji dan bukan barang pemuas kebutuhan itu sendiri. Dalam
kerangka prioritas nilai kebutuhan mesti dikatakan bahwa kaum wanita itu tidak
sedang memenuhi kebutuhan eksistensialnya.
Maka—sebagaimana juga disinyalir oleh A. Sonny
Keraf—tidak mengherankan jika kemudian muncul kesan bahwa iklan menampilkan
citra bisnis sebagai “kegiatan menipu dan memperdaya konsumen untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya.” Dan sebagaimana juga dikritik oleh Sri Paus
Yohanes Paulus II, iklan lebih serinbg ditampilkan sebagai media pembentuk
masyarkat konsumenristis yang preokupasi utamanya adalah menumpuk barang dan
jasa sebanyak mungkin (to have), dan bukannya memanfaatkan barang dan
jasa yng sungguh-sungguh dibutuhkan untuk merealisir eksistensi dirinya (to
be). Di sini kemudian digarisbawahi bahwa iklan memang bisa meningkatkan
standar hidup konsumen. Yang tidak etis adalah mengkonsolidasikan konsumen
untuk mengarahkan seluruh finalitas kehidupannya kepada kehidupan “ideal” yang
ditampilkan iklan, padahal itu hanyalah realitas artificial yang dikonstruksi
oleh iklan dan media massa itu sendiri.
Bidang Politis
Seringkali juga media assa menampilkan atau
menayangkan iklan-iklan politik. Ini bisa menguntungkan semua pihak sejauh
tidak dipakai semata-mata demi kepentingan tiranis pihak penguasa, tetapi
sebagai ekspresi daru sebuah kehidupan politik yang demokratis. Artinya, dengan
iklan politik, masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi perihal segala
kebiakan yang tengah dn akan diambil pemerinth, tetapi juga—sebagai
konsekuensi—semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan
politik, yakni dalam menentukan pilihan-pilihan politisnya.
Dalam dokumen kepausan bidang komunikasi sosial
perihal etika dalam iklan ditegaskan bahwa pemerintah, lewat iklan-iklan
politik, berkewajiban menginformsikan kepada masyarakat mengenai
tendensi-tendensi monopolistis dari pasar-pasar tertentu maupun
kekurangan-kekuranan tertentu serta langkah-langkah apa yang sedang diambil
terhadap tendensi-tendensi itu. Sementara calon-calon yng akan duduk di dalam
pemerintahan plus curriculum vitae mereka juga wajib diinformasikan
kepada masyarakat lewat iklan politik tersebut.
Sering terjadi juga bahwa lewat iklan rezim
penguasa tertentu menjalankan politik kebudayaannya. Di sini masyarakat
diindoktrinasi melalu slogan-slogan atau pernyataan-pernyataan politik murahan
tertentu, yang meskipun disadari sebagai politik pembohongan massa, tetapi
tetap saja merasuk ke dalam kesadaran masyarakat karena iklan-iklan tersebut
ditayangkan pada prime time di televise-televisi atau radio-radio, atau
dipajang di jalan-jalan protocol. Lebih mengerikan lagi keadaannya jika
media-media massa dikontrol secara ketat dengan kewajiban mematuhi
aturan-aturan tertentu yang secara jelas hanya menguntungkan rezim penguasa,
atau juga kewajiban menayangkan secara serentak acara-acara atau iklan-iklan
kenegaraan tertentu.
Bidang Kultural
Secara ideal harus dikatakan bahwa iklan
semestinya dikemas sebegitu rupa supaya tidak hanya bernilai secara moral,
tetapi juga intelektual dan estetis. Selain itu, para pemasang iklan juga mesti
mempertimbangkan kebudayaan dari masyarakat yang menjadi “sasaran” iklan.
Prinsip umum yang dianut adalah bahwa masyarakat harus selalu diuntungkan
secara kultural. Hal ini hanya bisa terwujud kalau isi iklan bukan merupakan
cerminan dari kehidupan glamor kelompok kecil masyarakat kaya atau pun
masyarakat dunia pertama yang wajib diimitasi secara niscaya oleh mayoritas
masyarakat miskin atau pun masyarakat dunia ketiga, tetapi merupakan cerminan
dan dinamisme kehidupan masyarakat miskin itu sendiri, karena iklan
menginformasikan barang dan jasa yang sungguh-sungguh mereka butuhkan,
dan itu berarti sesuai dengan stadar hidup mereka. Prinsip yang secara etis
dipegang teguh adalah bahwa iklan tidak harus pertama-tama menciptakan
kebutuhan-kebutuhan baru, atau mengekspos pola kehidupan baru yang malah
mengasingkan masyarakat dari kebudayaannya sendiri.
Dalam kenyataannya, iklan lebih sering
menampilkan kebudayaan hidup masyarakat yang lebih suka menonjolkan kompetisi
di segala bidang kehidupan seraya membuang jauh-jauh rasa solidaritas
antarsesama. Iklan juga seringkali meremehkan unsur-unsur edukatif, standar
moral serta seni yang tinggi. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagaian besar
iklan menampilkan warna dominasi kaum lelaki atas kaum perempuan. Tentang hal
terakhir ini dokumen kepausan mengenai etika dalam iklan menantang kita dengan
pertanyaan-pertanyaan mendasar berikut:
“How often are women treated not as persons with
an inviolable dignity but as objects whose purpose is to satisfy others’
appetite for pleasure or power? How often is the role of women in business life
depicted as a masculine caricature, a denial or the specific gifts of feminine
insight, compassion, and understanding, which so greatly contribute to the
‘civilization of love’?”
Bidang Moral dan Agama
Ajaran-ajaran moral dan agama juga seringkali
disampaikan lewat iklan. Ajaran-ajaran moral dan agama tersebut—kepatuhan
kepada kehendak Yang Ilahi, toleransi, belaskasihan, pelayanan dan conta kasih
kepada sesama yang lebih membutuhkan pertolongan, pesan-pesan mengenai
kesehatan dan pendidikan, dll—bertujuan untuk memotivasi masyarakat ke arh
kehidupan yang baik dan membahagiakan.
Masalah muncul ketika iklan bertentangan dengan
ajaran-ajaran moral dan agama. Bagi kaum moralis maupun agamawan, hal yang
secara jelas bertentangan dengan aharan moral dan agama adalah pornografi dalam
iklan. Mengapa demikian? Karena, menurut mereka, pornografi yang diekspos itu
merupakan sisi gelap dari kodrat manusia—kaum agamawan menyebut sisi ini
sebagai “gudang dosa”—dan pelecehan terhadap martabat manusia. Selain itu,
iklan yang diwarnai oleh kekerasan juga bertentangan dengan ajaran moral serta
agama, dengan alasan yang kurang lebih sama seperti pada pornografi.
Beberapa Prinsip Moral yang Perlu dalam
Iklan
Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa
dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan.
Ketiga hal itu adalah (1) masalah kejujuran dalam iklan, (2) masalah martabat
manusia sebagai pribadi, dan (3) tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh
iklan. Ketiga prinsip moral yang juga digarisbawahi oleh dokumen yang
dikeluarkan dewan kepausan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam
iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang
secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi
iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen). Dengan demikian,
uraian berikut ini akan merupakan “perkawinan” antara kedua pemikiran tersebut.
Prinsip Kejujuran
Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa
bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya
menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang
ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah
sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa.
Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya
manipulasi dengan motif apa pun juga.
Di Amerika Serikat, misalnya, dalam pembuatan
iklan hal-hal berikut ini dilarang: (1) Pesan yang tidak jujur atau yang
sifatnya menyesatkan karena melebih-lebihkan kenyataan apa adanya dari barang
dan jasa yang diiklankan. (2) Menafsirkan secara salah isi (content)
produksi sebuah barang dan jasa, entah itu dilakukan oleh produsen sendiri (the
advertisers) atau oleh pihak editor maupun fotografer. (3) Pernyataan-pernyataan
atau pesan-pesan yang bertentangan dengan tatakrama masyarakat. (4)
Pernyataan-pernyataan yang bermaksud melecehkan perusahaan lain lewat
propaganda bahwa barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan lain itu tidak
bermutu. (5) Klaim-klaim harga yang menyesatkan, (6) Pernyataan-pernyataan atau
pesan-pesan yang mengaburkan arti yang sebenarnya dan juga tidak aplikabel,
tetapi kemudian diklaim sebagai yang didukung oleh pendapat para ahli atau
otoritas ilmiah tertentu. (7) Menegaskan kualitas barang dan jasa lewat
kesaksian dari konsumen tertentu yang tidak kompeten sehingga pendapatnya tidak
mencerminkan pilihan yang sejati dan bertanggung jawab mengenai pemakaian
barang dan jasa tertentu. (8) Iklan-iklan yang lebih mementingkan unsur
sugesti, dalam arti menonjolkan dimensi-dimensi emosional, dorongan-dorongan
bawah-sadar dan seks, di mana lewat hal-hal ini dimensi rasionalitas manusia
tidak mendapat tempat yang wajar.
Dari deskripsi ini sebenarnya ditekankan bahwa
iklan sesungguhnya adalah sebuah media informasi mengenai kelangkaan barang dan
jasa yang dibutuhkan konsumen, dengan catatan bahwa tanpa dipengaruhi oleh
aneka iklan yang canggih pun konsumen tetap mencari dan mendapatkan barang dan
jasa yang ia butuhkan karena itu merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Masalahnya tentu saja akan menjadi lain jika peran iklan bergeser menjadi upaya
penumpukan profit setinggi mungkin, sehingga yang tampak adalah iklan-iklan
yang bersifat propaganda.
Hal terakhir ini yang justru ditolak secara etis,
karena bukan saja melecehkan kebebasan manusia dalam memilih barang dan jasa
yang ia perlukan, tetapi juga mencoreng peran mulia dari iklan itu sendiri
selaku penyaji informasi yang jujur.
Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat
manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn
imperatif (imperative requirement). Iklan semestinya menghormati hak
dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang
dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang
justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi.
Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang
seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi
kebutuhannya atau tidak.
Yang banyak kali terjadi adalah manusia
seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan, hal
yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini
bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga
menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk
memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa
memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat,
dll. Jika ini terjadi maka, menurut Thomas M. Garreth, SJ, iklan sesungguhnya
melupakan satu hal yang dalam etika iklan sendiri telah diterima: “Kewajiban
bertindak rasiona” dan kewajiban “membantu orang lain untuk bertindak yang
sama.” Tentang hal ini Garreth menulis:
“Kita semua berkewajiban untuk bertindak
berdasarkan refleksi dan pertimbangan-pertimbangan rasional. Tetapi sejauh
sebagai manusia selalu saja terjadi bahwa kita bertindak secara irasional.
Inilah keterbatasan ruang dan waktu kita yang membuat hanya sebagian kecil dari
kita yang biasa bertindak rasional dan manusiawi. Demikianlah dengan meminta
kita bertindak secara rasional para etikawan mengkualifikasi
kewajiban-kewajiban tertentu yang mesti kita penuhi. Dengan bertindak rasional
terhadap kewajiban-kewajiban tersebut kita memperlihatkan pula tanggung jawab
selalu pribadi. Pada titik ini pula kita dievaluasi secara moral.”
Dalam konteks inilah, baik Gereja Katolik, maupun
Thomas M. Garreth, SJ sendiri mengecam habis-habisan iklan yang semata-mata
mementingkan unsure irasional dan sugestif sebagai yang melawan cinta kasih
kepada sesama, karena iklan-iklan tipe ini melecehkan manusia sebagai animale
rationale yang semestinya selalu bertindak rasional dalam setiap
tindakannya, karena hanya dengan demikian ia bisa dengan bebas dan bertanggung
jawab menentukan pilihan-pilihannya. Lebih mengerikan lagi adalah bahwa iklan
seringkali merugikan anak-anak yang tingkat kesadaran serta otonomi moralnya
masih sangat terbatas, atau juga masyarakat miskin yang pada umumnya belum
membebaskan diri dari preokupasi-preokupasi untuk memiliki semakin banyak
barang dan jasa pemuas kebutuhan.
Iklan dan Tanggung Jawab Sosial
Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan
harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang utama selaku
media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia,
namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi
masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan jasa
pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan
barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai
surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan. Menyedihkan bahwa surplus ini hanya
dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini,
meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan
dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan.
Dalam konteks pemikiran seperti inilah muncul ide
tanggung jawab sosial dari iklan. Masalahnya bisa dirumuskan demikian:
“Bagaimana bisa menghindari surplus atau penumpukan barang dan jasa pemuas
kebutuhan pada sebagian kecil masyarakat dan kemudian mengaturnya demi
kemakmuran bersama?” Di sini tidak berlaku perntanyaan apakah surplus pada
sebagian kecil masyarakat itu perlu dihindari, karena penegasan afirmatif-etis,
bahwa surplus itu mau tidak mau harus dihindari. Para etikawan lalu setuju
untuk menolak upaya merentang batasan kebutuhan dasar hingga tak terbatas
sifatnya.
Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas
sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan
surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal berikut pantas
dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan
sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya
untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah,
panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua,
menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan
spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian
terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak
ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah
kesejahteraan sebagian besar masyarakat.
Masalah keutuhan serta keselamatan lingkungan
hidup juga menjadi tanggung jawab sosial iklan. Asumsinya adalah bahwa dengan
menonjolkan peran sugestif, iklan kemudian “menciptakan” sebuah gaya hidup
konsumtif. Gaya hidup ini, selain ditandai oleh surplus barang dan jasa yang
tidak perlu, juga semakin meningkatkan permintaan (demand).
Produksi barang dan jasa yang mengikuti irama permintaan pun cendrung
meningkat. Konsekuensi langsungnya adalah permintaan akan bahan mentah yang
dihasilkan dari alam untuk produksi juga meningkat. Dan untuk kepentingan
logika produksi seperti inilah alam dikeruk secara besar-besaran. Padahal
sebagian dari bahan-bahan mentah yang tersedia di alam bersifat
tak-bisa-diperbarui. Selain itu, seringkali terjadi juga bahwa sisa-sisa barang
dan jasa yang telah digunakan manusia turut merusak alam.
Maka sebenarnya yang perlu diusahakan bukannya
meniadakan iklan, tetapi meniadakan isi atau maksud dari iklan yang obsesi
utamanya adalah mengkonstruksi sebuah masyarakat konsumtif dengan seluruh
konsekuensi yang menyertainya. Kalau kita setuju dengan analisis Dr. Gregory
Baum, bahwa media massa dan iklan cendrung mengkonstruksi realitas dan bahwa
realitas tersebut umumnya bersifat konsumtif-materialistis yang sungguh-sungguh
mensugesti manusia untuk secara niscaya menanggapinya, maka bahaya pengrusakan
lingkungan karena mentalitas hidup konsumtif sungguh-sungguh serius. Sama
seperti yang ditegaskan dokumen kepausan mengenai etika dalam iklan, komitmen
untuk mencegah upaya pengrusakan lingkungan ada pada mereka yang berkehendak
baik, yang mau mengusahakan sebuah kehidupan bersama yang utuh dan integral,
baik antara manusia maupun dengan lingkungan tempat kediamannya.
Penutup
Sebagaimana juga disinggung di atas, iklan memang
tidak bisa dihapus sama sekali dari kehidupan manusia. Ini bukan saja karena
pemahaman kita mengenai iklan dalam artinya yang luas sebagai segala kegiatan
manusia dalam menginformasikan “kepentingan-kepentingan” tertentu kepada
publik, tetapi juga bahwa iklan sejak semula tidak bersifat propagandis. Lagi
pula kecenderungan hal yang terakhir ini relatif baru dalam dunia iklan,
terutama ketika masyarakat mulai mengenal sistem ekonomi pasar bebas. Maka
kemudian sebagai usaha untuk “menghapus” citra iklan yang sugestif-propagandis
bukan dengan menghapus sama sekali iklan, tetapi lewat mengembalikan iklan pada
misinya yang sejati.
Salah satu tugas etikawan di bidang ini adalah
mendidik masyarakat untuk selalu bersikap rasional. Kepemilikan atas sikap ini
yang kemudia bisa diandalkan sebagai semacam senjata pamungkas berhadapan
dengan iklan-iklan yang semata-mata sugestif. Iklan pada akhirnya akan membunuh
diri sendiri jika tetap beranggapan bahwa konsumen merupakan pihak yang selalu
bisa dibohongi. Sementara karena jasa para etikawan masyarakat perlahan-lahan
memupuk sikap rasional. Tentang hal ini peringatan David Ogilvy pantas disimak:
“Kalau Anda mengatakan kebohongan tentang sebuah
produk, Anda akan diketahui—entah oleh pemerintah ayang akan mendakwa Anda,
atau oleh konsumen yang akan menghukum Anda dengan tidak lagi membeli produk
Anda. Produk yang baik dapat digunakan dengan menggunakan iklan yang jujur.
Kalau menurut Anda produk itu tidak baik, jangan diiklankan. Kalau Anda
mengatakan kebohongan atau hal yang menyesatkan, Anda merugikan klien ANda.
Anda memperbesar perasaan bersalah dalam diri Anda, dan Anda mengobarkan
perasaan dengki masyarakat terhadap seluruh kegiatan iklan Anda.”
Upaya mendidik masyarakat untuk bertindak
rasional ini bisa dilakukan lewat pendidikan melek media (media literacy).
Di sana masyarakat disadarkan untuk, antara lain, memahami bahwa realitas yang
ditayangkan media massa dan iklan bukanlah ekstensifikasi dari realitas
kehidupan nyata manusia, tetapi merupakan realitas ciptaan berdasarkan
kepentingan-kepentingan tertentu. Dan bahwa dengan demikian media massa dan
iklanlah yang mengkonstruksi dan bukannya merepresentasikan realitas.
Konsekuensinya, realitas rekaan yang ditampilkan itu telah ditafsirkan
sedemikian rupa untuk melayani kepentingan-kepentingan tertentu pula. Maka
lewat pendidikan melek medialah masyarakat dibekali dengan nilai-nilai ideal
tertentu (misalnya nilai-nilai yang diajarkan agama), yang pada gilirannya bisa
memampukan masyarakat untuk menafsirkan realitas yang ditampilkan seturut
kepentingan-kepentingannya yang ideal. Lewat pendidikan melek media ini pula
masyarakat disadarkan bawa media massa dan iklan tidak bisa tidak memiliki
kepentingan-kepentingan bisnis, ideology dan politik dan bahwa kepentingan-kepentingan
ini dikemas sebegitu rupa sehingga hanya dengan sikap rasional hal-hal tersebut
bisa dipilah-pilah satu sama lain.
Selain pendidikan melek media, masyarakat juga
bisa diajarkan untuk hidup sederhana. Ini sebenarnya berhubungan dengan salah
satu prinsip yang menakutkan dari pasar bebas, yaitu bahwa barang dan jasa yang
mewah akan segera menjadi kebutuhan primer pada saat barang dan jasa itu
dipenuhi. Ini terjadi secara terus menerus sampai manusia sendiri tidak mampu
menentukan dengan tegas prioritas kebutuhan-kebutuhannya. Di sini pula kiranya
kita bisa memahami kritik Paus Yohanes Paulus II terhadap masyarakat
konsumeristis yang diciptakan iklan sebagaimana disinggung di atas sembari
menambahkan bahwa hidup sederhana bisa menjadi semacam counter culture
terhadap kehidupan yang konsumeristis dewasa ini. Tanggung jawab untuk ini ada
di tangan siapa saja yang ingin membangun sebuah masyarakat yang sungguh-sungguh
manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
Coleman, John & Tomko, Miklos (Eds.), “Mas
Media”, dalam majalah Concilium, SCM Press Ltd, London, 1993/6.
Dokumen Komisi Kepausan bidang Komunikasi Sosial
tentang Etika dalam Iklan. Dikutip dari L’Osservatore Romano N. 16, 16
April 1997.
Elaine, St. James, Simplify Your Life,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Winarno, Bondan. Rumah Iklan: Upaya Matari
Menjadikan Periklanan Indonesia Tuan Rumah Di negeri Sendiri. 2008. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas
http://ruangdosen.wordpress.com/2010/04/04/etika-dalam-periklanan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar