Rangkuman
Buku "Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi"
"Islamku" atau
Islamnya Gus Dur, perlu dilihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu
diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Sementara
yang dimaksud dengan "Islam Anda",
lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau
ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Gus Dur
memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai
"kebenaran" yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang jarus
dihargai. Adapun perumusan tentang "Islam Kita", lebih merupakan
derivasi dari keprihatinan sesorang terhadap masa depan Islam yang didasarkan
pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi tentang "Islam Kita"
menyangkut konsep integratif yang mencakup "Islamku" dan "Islam
Anda", dan menyangkut kaum muslimin seluruhnya. Tetapi persoalan mendasar
dalam konteks "Islam Kita" itu terletak pada adanya kecenderungan
sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep "Islam Kita" menurut
tafsiran mereka sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut
Gus Dur bertentangan dengan semangat demokrasi.
Islam dapat dibagi
menjadi dua bagian: Islam formal dan tidak
formal. Dalam pandangan formal, ajaran Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk undang undang (UU). Karena
hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah keputusan-keputusan hukum yang diwujudkan secara
formal, hingga dengan sendirinya
asas pluralitas tidak dapat dilaksana kan, dan yang ada adalah UU formal. Sistem formal agama
lalu menjadi lahan tawarmenawar. Karena
itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa, ajaran
formal Islam selalu
bersifat kaku dan tidak mampu
menampung perkembanganperkembang baru yang
terjadi. Pegangan golongan formalis
dalam Islam adalah ayat:
“Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû fi al-silmi kâffah)” (QS alBaqarah [2]:208),
yang berarti kalau Anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguh
sungguh dan tak tanggungtanggung. Para formalis mengartikan kata “al-silmi” di sini, dengan arti Islam sebagai
sistem, katakan lah sistem Islami.
Namun, penafsiran ini hanya memperoleh pengikut yang sedikit,
sedangkan
mayoritas
kaum
muslimin
(terutama para ulama Indonesia), memegang
arti Islam sebagai pengayom. Toleransi kita diminta
oleh kitab suci yang kita ya
kini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang,
termasuk kaum nonmuslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang ber bunyi: “Tiadalah Kuutus engkau kecuali
sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsal- nâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS alAnbiya [21]:107). Ini jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia
ini.
Islam gerakan
atau kultur jadi organisasi itu tidak mencerminkan kelompok
agamawan, melainkan hanya tampilan wakil gerakangerakan agama atau organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan
yang dimiliki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi
dan kejelasan siapa yang diterima
dan tidak sebagai
agamawan. Karena langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mem persatukan seluruh elemen umat Islam
adalah menentukan mu suh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak kekuatan Islam. Dan dikatakan
kekuatan, karena tak adanya si kap
dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiranpe
mikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan
pemikiran para ahli agama itu sendiri.
Gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti
oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu
memandang
Islam
dari
sudut
institusionalnya
belaka.
Negara dan
kepemimpinan islam jadi, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti
(baku) tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui
pemilih an dalam kongres
atau muktamar, tetapi masih tampak betapa
kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk
kehidup annya sesuai dengan
konsep kemaslahatan umat.
Buruknya, jika pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tu
gas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasa
an dan kemudahankemudahan yang diperolehnya, maka akan menjadi lemahlah kepemimpinan tersebut. Apalagi jika kepe
mimpinan itu di tangan seorang
penakut, yaitu pemimpin
yang takut kepada tekanantekanan dari luar dirinya.
Nu dan negara islam jadi gagasannya yang semula tampak indah itu, pada akhirnya
akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga negara Indonesia, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan
sejarah. Kalaupun dipaksakan
sekali lagi untuk mewujudkan gagasan
NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi
hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi
di negara kita tahuntahun 50an. Apakah deretan
pemberontakan bersenjata seperti
itu, yang ingin
kita saksikan kembali
dalam sejarah modern bangsa kita.
Memperjuangkan
hak-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat dimasa kini, hingga wajiblah
bersikap sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini. Tetapi, kedaan inipun,
bukanlah hanya monopoli islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang menerima
hak-hak wanita dan pria secara berimabang menurut undang-undang dasarnya,
ternyata praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah ada dalam
sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUD-nya tidak pernah melarang hal itu.
Disini, ternyata terdapat kesenjangan besar teori maupun praktik dalam sebuah
masyarakat paling “maju” sekalipun.
Dengan
demikian, menjadi jelaslah bahwa bekerja sama antara system keyakinan itu
sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan dimasyarakat, karena masing-masing
memiliki keharusan demi lahirnya kesejahteraan (keadilan dan mencari
kemakmuran). Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan an tar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian ma
teri menggunakan buktibukti kuantitatif, seperti tingkat
peng hasilan ratarata warga masyarakat ataupun
jumlah kepemilikan misalnya, telpon
atau kendaraan perkeluarga.Sedangkan yang tidak, seperti ukuran
keadilan,
dapat
diamati
secara
empirik
dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.
Idiosinkrasi adalah sifatsifat perorangan yang khusus ada
pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak secara
jelas, walaupun ia juga ada di kalangan nonmuslim. Kalau idiosinkrasi ada dalam diri penguasa
muslim, maka ia akan di maafkan, karena orang itu banyak jasanya dalam bidangbidang
lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di
masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan kepentingan orang banyak.
Himbauan bagi
orang-orang yang mengemukakan “jalan
kekerasan” di atas. Dalam saatsaat
serba sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi
marah. Tetapi
bukankah justru sikap mudah marah itu yang dikehendaki golongan ekstrim di negeri ita, dari mana pun ia berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saat
saat seperti ini. Dengan sendirinya ucapanucapan yang menun jukkan hilangnya kesabaran harus
dihindari.
Pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama
mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau
buktibukti yang jelas
masih dapat dicari. Baru kemudian diumumkan
pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Di sinilah
keadilan harus ditegakkan di Bumi Nusantara.
Dalam pandangan
Islam, tujuan hidup perorangan adalah mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai me lalui kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, pe ningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna
menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran
dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya tergantung kepada tata niaga
internasional. Kepentingan mikro
ekonomi Islam secara pribadi, yaitu
untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat, lalu sama
posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang mementingkan keadilan
dan kemakmuran seluruh
bangsa. Sebenarnya kita dapat melakukan
hal itu, apabila
tersedia political will untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu
penting bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah ahli ekonomi
belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. Ekonomi Islam, yaitu Islam memuat ajaranajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat
kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik,
karena kita sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah
bersifat empirik saja, sedangkan agama
memiliki nuansa spiritual yang sangat kuat. Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan masalah
bunga bank dan pelaksanaan asuransi
sebagai unit parsial dalam
kehidupan ekonomi, dapat
saja dirumuskan yang
benar-benar sesuai dengan ajaran islam dengan predikat bank islam/bank syari’ah
maupun takaful/asuransi islam.
Salah satu ketentuan
dasar yang dibawakan
Islam adalah keadilan, baik yang bersifat
perorangan maupun dalam
ke hidupan politik. Keadilan
adalah tuntutan mutlak
dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilû)” maupun keharusan
“menegakkan keadilan (kûnû
qawwâmîna bi al-qisthi),”
berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al-Qurân. Dalam proses memahami dan mencoba mengerti
garis terjauh dari kata i’dilû’ atau ‘al-qisth’ itu sendiri, lalu ada sementara
pe- mikir muslim yang menganggap, sebaiknya
digunakan kata “ke adilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin me ngenai
perubahan sosial yang terjadi. Kelompok
ini menginginkan pendekatan struktural dalam memahami
perubahan sosial. Na mun
pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian
be sar adalah para pemikir saja,
bukannya
pejuang/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat-laun akan muncul para aktifis yang meng
gunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah keseluruhan watak
perjuangan
kaum
muslimin.
Implikasinya
akan muncul istilah “muslim
reaksioner”.
Dalam fiqh dikemukakan keharusan seorang pemimpin agar mementingkan kesejahteraan rakyat
yang dipimpin, sebagai tugas yang harus dilaksanakan:“Kebijaksanaan” dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung
dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ ar- ra’iyyah manûtun bi al-maslahah)”. Sangat jelas tujuan
berkua sa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang di rumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah).
Kita harus menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang
ekonomi. Caranya dengan mengembangkan ekonomi rakyat dalam bentuk
memperluas dengan
cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha
Kecil dan Menengah
(UKM). Segenap sumber sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya tersebut,
yang berarti pemerintah langsung memimpin
tindakan itu. Namun, ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, melainkan
mereka harus berdiri
sendiri tanpa pertolongan peme rintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, kita
tetap berpegang pada persaingan bebas,
efisiensi dan per- modalan swasta dalam dan luar
negeri. upaya menegakkan ekonomi rakyat seperti itu tidak terlepas
dari tujuan UUD 1945 atau ajar
an Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut UUD 1945 adalah sesuatu
yang esensial bagi kita. Tanpa orien
tasi itu, apapun yang
kita lakukan akan bertentangan dengan keduaduanya.
Islam birokrasi, bahwa Islam tidak memberikan kekuasaan mutlak
kepada
birokrasi
pemerintahan
untuk
berbuat semau mereka. Tetapi, Islam juga memandang
penting nya arti birokrasi pemerintahan yang baik,
karena segenap kebijakan pemimpin tidak dapat
dipisahkan dari pelaksananya, yaitu birokrasi pemerintahan.
Karenanya,
birokrasi
pemerintahan
yang tidak terlalu besar
dan tunduk sepenuhnya kepada para pemimpin politik sebagai pengambil
keputusan terakhir, merupakan
keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua non, mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidakkah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan
Islam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu
besar dan memiliki wewenang serba terbatas.
Dalam
pembangunan nasional, ukuran mikro dan makro yang
benar harus samasama digunakan dalam mengukur capaian pembangunan nasional
kita. Ini berarti
harus ada perubahan besar dalam strategi
pembangunan nasional yang digunakan. Di samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap
tata niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi
(yang lebih bersifat ukuranukuran mikro), digunakan juga orien tasi yang benar
akan keadilan
sosial, kedaulatan hukum
dan HAM. Dengan kata lain, di samping ukuranukuran kuantitatif yang bersifat mikro, digunakan juga ukuranukuran kualitatif dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan ke pentingan rakyat banyak, sebagai
halhal makro yang juga harus diperhatikan.
Globalisasi ekonomi, saat ini sering diartikan
sebagai per saingan terbuka,
ketundukan
mutlak
pada
kompetisi
dan penerimaan total atas “kebenaran” tata niaga inter
nasional yang diwakili oleh World Trade Organisation (WTO). Benarkah dan cukupkah, hal ini menjadi perhatian kita melalui
tulisan ini. Dalam uraian ini, akan tercapai
kejelasan pandangan dan
maksud tentang halhal tersebut.
Globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk membenarkan dominasi perusahaanperusahaan
besar atas perekonomian negaranegara berkembang, yang tentu saja akan sangat meru
gikan negaranegara tersebut. Karena
itulah,
tentangan
atas
WTO dan pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang berpangkalan di negaranegara berteknologi maju. Dengan demikian,
pencarian untung/laba dalam
globalisasi tidak harus diartikan sebagai
kemerdekaan penuh penguasa
modal untuk
melikuidasi saingan mereka,
melainkan justru diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara kepentingan produsen dan konsumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak konsumen dan produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang
ekonomi dan perdagangan.
Di lihat dari sudut
penafsiran seperti itu, dalam pandangan Islam diperlukan keseimbangan antara
kepentingan negara produsen barang/jasa dan negara pengguna
barang/jasa tersebut, sehingga
tercapai keseimbangan atas kehidupan internasional di bidang ekonomi/finansial. Dengan kata lain,
keadilan tidak memperkenankan
kata globalisasi digunakan untuk menjarah kepentingan sesuatu bangsa atau
negara, hingga kata itu sendiri berubah arti menjadi
tercapainya keseimbangan antara kedua
belah pihak. Salah satu gagasan yang sering dilontarkan penulis secara
lisan dalam rapatrapat umum di seluruh
bagian negeri ini, jelas mengacu
pada kebutuhan tersebut.
Keharusan kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional
dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dari sebuah
kebangkitan ekonomi. Namun, yang
harus didorong sekuat
tenaga, adalah ekonomi
rakyat dalam bentuk
kemudahankemudahan, fasilitasfasilitas dan sistem kredit sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Dibarengi
dengan peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan mili ter, yang harus dilakukan
guna mendorong peningkatan kemam puan daya beli (purchasing power) mereka.
Perkembangan gagasan
ekonomi Islam jelas
menunjukkan kemandulan, karena lebih
cenderung untuk mempermasalahkan aspekaspek normatif,
seperti bunga bank dan asuransi.
Artinya, pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi
Islam itu lebih banyak menyangkut pencarian
nilainilai daripada pencarian caracara/ aplikasi
yang dilakukan oleh nilainilai tersebut.
Jadi ekonomi yang
ditata oleh orientitasnya, yang harus dibenahi, adalah orientasi yang terlalu
melayani kepentingan orangorang kaya, atas kerugian
orang miskin. Kita harus jeli melihat
masalah ini dengan
kacamata yang jernih. Perubahan
orientasi itu terletak
pada dua bidang utama,
yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah dan upaya mengatasi kemiskinan. Kedua
langkah itu harus
disertai pengawasan yang ketat, disamping likuliku
birokrasi, yang me mang
merupakan hambatan tersendiri
bagi upaya memberikan kredit murah kepada UKM. Padahal saat ini, apapun
upaya yang dilakukan untuk menolong UKM, selalu menghadapi
hambatan. Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini.
Dan tentu saja, upaya mengatasi
kemiskinan menghadapi begitu banyak rintangan dan hambatan,
terutama dari lingkungan birokrasi sendiri. Padahal tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah maslahah
al-‘âmmah, yang secara se derhana diterjemahkan dengan
kata kesejahteraan. Kata kesejah
teraan ini, dalam Undangundang Dasar kita, dinamakan
keadilan dan kemakmuran. Sekaligus
dalam pembukaan UUD 1945
diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibarat
kan menegakkan masyarakat yang adil dan makmur.
Referensi
//fitrirahmayanti.blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar