Halaman

Senin, 09 Juni 2014

Rangkuman



Rangkuman Buku "Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi"

            "Islamku" atau Islamnya Gus Dur, perlu dilihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Sementara yang dimaksud dengan "Islam Anda", lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai "kebenaran" yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang jarus dihargai. Adapun perumusan tentang "Islam Kita", lebih merupakan derivasi dari keprihatinan sesorang terhadap masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi tentang "Islam Kita" menyangkut konsep integratif yang mencakup "Islamku" dan "Islam Anda", dan menyangkut kaum muslimin seluruhnya. Tetapi persoalan mendasar dalam konteks "Islam Kita" itu terletak pada adanya kecenderungan sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep "Islam Kita" menurut tafsiran mereka sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus Dur bertentangan dengan semangat demokrasi.
            Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk undang­ undang  (UU).  Karena hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah keputusan­-keputusan hukum yang diwujudkan secara formal, hingga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksana­ kan, dan yang ada adalah UU formal. Sistem formal agama lalu  menjadi lahan tawar­menawar. Karena itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku dan tidak  mampu menampung perkembangan­perkembang baru yang terjadi. Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat: “Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû fi al-silmi kâffah)” (QS al­Baqarah [2]:208), yang berarti kalau Anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguh­ sungguh dan tak tanggung­tanggung. Para formalis mengartikan kata al-silmi di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakan­ lah sistem Islami.  Namun, penafsiran ini hanya memperoleh pengikut  yang  sedikit,  sedangkan  mayoritas  kaum  muslimin (terutama para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita ya­ kini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non­muslim. Ini  bersesuaian dengan ayat lain yang ber­ bunyi: “Tiadalah Ku­utus  engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa arsal- nâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS al­Anbiya [21]:107). Ini jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia ini.
            Islam gerakan atau kultur  jadi organisasi itu tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya tampilan wakil gerakan­gerakan agama atau organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimiliki  umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. Karena langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mem­ persatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan mu­ suh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, karena tak adanya si­ kap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiran­pe­ mikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan pemikiran para ahli agama itu sendiri.
            Gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum  muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin,  yang  terlalu  memandang  Islam  dari  sudut  institusionalnya  belaka.
            Negara dan kepemimpinan islam jadi, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku) tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilih­ an dalam kongres atau muktamar, tetapi masih tampak betapa kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk kehidup­ annya sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tu­ gas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasa­ an dan kemudahan­kemudahan yang diperolehnya, maka akan menjadi  lemahlah kepemimpinan tersebut. Apalagi jika kepe­ mimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang takut kepada tekanan­tekanan dari luar dirinya.
            Nu dan negara islam jadi gagasannya yang semula tampak indah itu, pada akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga negara Indonesia, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan  agama.  Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah. Kalaupun dipaksakan sekali lagi­ untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita tahun­tahun 50­an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita.
            Memperjuangkan hak-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat dimasa kini, hingga wajiblah bersikap sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini. Tetapi, kedaan inipun, bukanlah hanya monopoli islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang menerima hak-hak wanita dan pria secara berimabang menurut undang-undang dasarnya, ternyata praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah ada dalam sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUD-nya tidak pernah melarang hal itu. Disini, ternyata terdapat kesenjangan besar teori maupun praktik dalam sebuah masyarakat paling “maju” sekalipun.
            Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa bekerja sama antara system keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan dimasyarakat, karena masing-masing memiliki keharusan demi lahirnya kesejahteraan (keadilan dan mencari kemakmuran). Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan an­ tar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian ma­ teri menggunakan bukti­bukti kuantitatif, seperti tingkat peng­ hasilan rata­rata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan misalnya, telpon atau kendaraan per­keluarga.Sedangkan yang tidak,  seperti  ukuran  keadilan,  dapat  diamati  secara  empirik dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.
            Idiosinkrasi adalah sifat­sifat perorangan yang khusus ada pada  seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak secara jelas, walaupun ia juga ada di kalangan non­muslim. Kalau idiosinkrasi ada dalam diri penguasa muslim, maka ia akan di­ maafkan, karena orang itu banyak jasanya dalam bidang­bidang lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan kepentingan orang banyak.
            Himbauan bagi orang-orang yang mengemukakan “jalan kekerasan” di atas. Dalam saat­saat serba sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi marah.  Tetapi bukankah justru sikap mudah marah itu yang dikehendaki golongan ekstrim di negeri ita, dari mana pun ia berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saat­ saat seperti ini. Dengan sendirinya ucapan­ucapan yang menun­ jukkan hilangnya kesabaran harus dihindari.
Pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas oleh pengadilan, kalau bukti­bukti yang jelas masih dapat dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di Bumi Nusantara.
Dalam pandangan Islam, tujuan hidup perorangan adalah mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai me­ lalui  kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, pe­ ningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan  daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya tergantung kepada tata niaga internasional. Kepentingan mikro ekonomi Islam secara pribadi, yaitu untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat, lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa. Sebenarnya kita dapat melakukan hal itu, apabila tersedia political will  untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu penting bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah ahli ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. Ekonomi Islam, yaitu Islam memuat ajaran­ajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, karena kita sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik saja,  sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat kuat. Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi sebagai unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan yang benar-benar sesuai dengan ajaran islam dengan predikat bank islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi islam.
Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam ke­ hidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilû)” maupun keharusan “menegakkan keadilan (kûnû qawwâmîna bi al-qisthi),” berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al-Qurân. Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh dari kata i’dilû’ atau al-qisth itu sendiri, lalu ada sementara pe- mikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “ke­ adilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin me­ ngenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini menginginkan pendekatan  struktural dalam memahami perubahan sosial. Na­ mun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian be­ sar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyara­kat. Tetapi,  lambat-laun akan muncul para aktifis yang meng­ gunakan acuan  struktural itu, dan dengan demikian merubah keseluruhan  watak  perjuangan  kaum  muslimin.  Implikasinya akan muncul istilah “muslim reaksioner”.
            Dalam fiqh dikemukakan keharusan seorang pemimpin agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, sebagai tugas yang harus dilaksanakan:“Kebijaksanaandan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ ar- ra’iyyah manûtun bi al-maslahah)”. Sangat jelas tujuan berkua­ sa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang di­ rumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Kita harus menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi. Caranya dengan mengembangkan ekonomi rakyat dalam bentuk memperluas  dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Segenap sumber­ sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya tersebut, yang berarti pemerintah  langsung memimpin tindakan itu. Namun, ini tidak berarti kita  menentang usaha besar dan raksasa, melainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan peme­ rintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan per- modalan swasta dalam dan luar negeri. upaya menegakkan ekonomi rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajar­ an Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran Islam  dan  pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa orien­ tasi itu, apapun  yang kita lakukan akan bertentangan dengan kedua­duanya.
            Islam birokrasi, bahwa Islam tidak memberikan  kekuasaan  mutlak  kepada  birokrasi  pemerintahan  untuk berbuat semau mereka. Tetapi, Islam juga memandang penting­ nya arti birokrasi pemerintahan yang baik, karena segenap kebijakan pemimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksananya, yaitu birokrasi   pemerintahan.  Karenanya,  birokrasi  pemerintahan yang tidak  terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para pemimpin politik sebagai pengambil keputusan terakhir, merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua non, yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidakkah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Islam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu besar dan memiliki wewenang serba terbatas.
            Dalam pembangunan nasional, ukuran mikro dan makro yang benar harus sama­sama digunakan dalam mengukur capaian pembangunan nasional kita. Ini berarti harus ada perubahan besar dalam strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di samping  optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi (yang lebih bersifat ukuran­ukuran mikro), digunakan juga orien­ tasi yang benar  akan keadilan sosial, kedaulatan hukum dan HAM. Dengan kata lain, di samping ukuran­ukuran kuantitatif yang bersifat mikro,  digunakan juga ukuran­ukuran kualitatif dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan ke­ pentingan rakyat banyak, sebagai hal­hal makro yang juga harus diperhatikan.
            Globalisasi ekonomi, saat ini sering diartikan sebagai per­ saingan  terbuka,  ketundukan  mutlak  pada  kompetisi dan penerimaan total atas “kebenaran” tata niaga inter­
nasional yang diwakili oleh World Trade Organisation (WTO). Benarkah dan cukupkah, hal ini menjadi perhatian kita melalui tulisan ini. Dalam uraian ini, akan tercapai kejelasan pandangan dan maksud tentang hal­hal tersebut.
            Globalisasi ekonomi dimaksudkan  untuk  membenarkan dominasi perusahaan­perusahaan besar atas perekonomian negara­negara berkembang, yang tentu saja akan sangat meru­ gikan  negara­negara  tersebut.  Karena  itulah,  tentangan  atas WTO dan  pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan oleh Lembaga  Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang berpangkalan di negara­negara berteknologi maju. Dengan demikian, pencarian untung/laba dalam globalisasi tidak harus diartikan sebagai kemerdekaan penuh penguasa modal  untuk melikuidasi saingan mereka, melainkan justru diarahkan pada  tercapainya keseimbangan antara kepentingan produsen dan konsumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak konsumen dan produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian antara kepentingan  berbagai negara satu sama lain di bidang ekonomi dan perdagangan.
Di lihat dari sudut penafsiran seperti itu, dalam pandangan Islam diperlukan keseimbangan antara kepentingan negara produsen  barang/jasa dan negara pengguna barang/jasa tersebut, sehingga  tercapai keseimbangan atas kehidupan internasional di bidang  ekonomi/finansial. Dengan kata lain, keadilan tidak memperkenankan kata globalisasi digunakan untuk menjarah kepentingan sesuatu bangsa atau negara, hingga kata itu sendiri berubah arti menjadi tercapainya keseimbangan antara kedua belah pihak.  Salah satu gagasan yang sering dilontarkan penulis  secara lisan dalam rapat­rapat umum di seluruh bagian negeri ini,  jelas mengacu pada kebutuhan tersebut. Keharusan kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional dan efisiensi  yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dari  sebuah kebangkitan ekonomi. Namun, yang harus didorong sekuat tenaga, adalah ekonomi rakyat dalam bentuk kemudahan­kemudahan, fasilitas­fasilitas dan sistem kredit sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Dibarengi dengan peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan mili­ ter, yang harus dilakukan guna mendorong peningkatan kemam­ puan daya beli (purchasing power) mereka.
            Perkembangan gagasan ekonomi Islam jelas menunjukkan kemandulan, karena lebih cenderung untuk mempermasalahkan aspek­aspek normatif, seperti bunga bank dan asuransi. Artinya, pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu lebih banyak menyangkut pencarian nilai­nilai daripada pencarian  cara­cara/ aplikasi yang dilakukan oleh nilai­nilai tersebut.
            Jadi ekonomi yang ditata oleh orientitasnya, yang harus dibenahi, adalah orientasi yang terlalu melayani kepentingan orang­orang kaya, atas kerugian orang miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan kacamata yang jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama, yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah dan upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai pengawasan yang ketat, disamping liku­liku birokrasi, yang me­ mang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah kepada UKM. Padahal saat ini, apapun upaya yang dilakukan untuk menolong UKM, selalu menghadapi hambatan. Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini. Dan tentu saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu banyak rintangan dan hambatan, terutama dari lingkungan birokrasi sendiri. Padahal tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah maslahah al-‘âmmah, yang secara se­ derhana diterjemahkan dengan kata kesejahteraan. Kata kesejah­ teraan ini, dalam Undang­undang Dasar kita, dinamakan keadil­an dan  kemakmuran. Sekaligus dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibarat­ kan menegakkan  masyarakat yang adil dan makmur. 

 Referensi
//fitrirahmayanti.blogspot

Tidak ada komentar:

Posting Komentar